Cobain Nikon Zf Kalau Kamu Cari Kamera Estetik Hasilnya Nggak Main-Main

Jadi gini, beberapa waktu lalu sempat pegang dan nyobain salah satu kamera yang lagi bikin banyak orang ngelirik, si Nikon Zf. Jujur, pas pertama kali lihat di foto-foto, udah kepikiran “wah, ini sih estetik banget”. Tapi kan, kamera itu bukan cuma soal tampang, bener nggak? Nah, penasaran lah nyobain langsung gimana rasanya moto atau bikin video pakai kamera yang tampilannya kayak kamera analog tahun ’70-an tapi dalemannya udah digital paling terbaru.

Pas unboxing dan pertama kali pegang, kesan estetiknya langsung dapet banget. Desainnya itu loh, bener-bener napak tilas ke kamera film klasik Nikon F3 atau FM2 gitu. Bahan bodinya terasa kokoh, perpaduan magnesium alloy sama cover sintetis yang bertekstur. Tombol-tombol putar di bagian atas (dial untuk ISO, Shutter Speed, dan Exposure Compensation) itu dibuat dari kuningan, dan ada aksen-aksen kecil yang bikin detailnya kerasa premium. Finishing catnya juga matte, nggak gampang ninggalin bekas sidik jari. Retro abis, tapi tetap modern di tangan. Rasanya kayak megang benda seni yang bisa motret.

Tapi ya, namanya desain retro, ada plus minusnya di sisi ergonomi. Nikon Zf ini gripnya minim banget, alias hampir rata gitu bodinya. Buat sebagian orang, ini mungkin nggak masalah, apalagi kalau pakai lensa-lensa ringkas Z mount. Tapi kalau pasangin lensa Z mount yang gede atau berat, mungkin bakal kerasa kurang mantap di tangan. Rasanya kayak harus ngejepit kamera pakai jari dan telapak tangan, nggak ada tonjolan grip yang nyaman buat dipegang. Nikon sih nyediain add-on grip terpisah kalau mau, tapi kalau nggak pakai, memang feel-nya beda dari kamera mirrorless modern pada umumnya yang biasanya punya grip lebih dalam dan ergonomis. Ini kembali ke selera masing-masing sih, ada yang suka feel klasik tanpa grip menonjol, ada yang butuh grip buat stabilitas dan kenyamanan.

Oke, cukup soal tampang. Dalemannya nih yang bikin penasaran. Nikon Zf ini dipersenjatai sensor full-frame beresolusi 24.5 megapiksel, sama kayak di Nikon Z6 II, tapi dengan prosesor gambar terbaru, EXPEED 7, yang sama kayak di Z8 atau Z9. Nah, kombinasi sensor yang udah teruji sama prosesor paling gres ini hasilnya memang nggak main-main. Kualitas gambarnya? Khas Nikon banget. Tone warnanya pleasing, natural tapi punchy di saat yang tepat. Detailnya tajam, dan dynamic range-nya lumayan luas buat ngangkat bayangan atau nurunin highlight. Noise management di ISO tinggi juga patut diacungi jempol. Sampai ISO 6400 atau bahkan 12800 pun, noise masih terbilang minim dan halus, jadi nggak terlalu mengganggu buat dicetak atau di-share di media sosial. Ini penting banget buat yang suka motret di kondisi low light atau malam hari tanpa harus ribet bawa tripod.

Yang paling kerasa peningkatannya berkat prosesor EXPEED 7 itu ada di performa autofocus (AF). Sistem AF-nya udah pakai teknologi deep learning yang bikin deteksi subjeknya pinter banget. Mau itu mata manusia (termasuk yang pakai kacamata atau ketutup rambut), hewan (kucing, anjing, burung), sampai kendaraan (mobil, motor, sepeda, pesawat, kereta api), semuanya bisa dideteksi dan di-tracking dengan cepat dan akurat. Ini berguna banget buat motret subjek bergerak, misalnya street photography, momen candid, atau bahkan wildlife kalau pakai lensa tele. Mau motret mata model yang bergerak? Nggak masalah. Mau motret kucing lagi lari? Bisa banget. Autofocus tracking-nya lengket dan jarang goyang. Dibandingin Z6 II, ini jelas upgrade yang signifikan dan kerasa banget perbedaannya di lapangan.

Selain AF, fitur canggih lain yang diwariskan dari kakaknya yang lebih mahal adalah In-Body Image Stabilization (IBIS). Nikon Zf punya IBIS 5-axis yang diklaim bisa kompensasi getaran sampai 8 stop (dengan lensa tertentu). Dalam pemakaian nyata, memang kerasa banget bantuannya, terutama kalau motret pakai shutter speed rendah tanpa tripod, atau pas bikin video handheld biar nggak goyang-goyang amat. Angka 8 stop itu mungkin di kondisi ideal banget, tapi secara realistis, kompensasi 4-5 stop itu udah sering banget kejadian dan sangat membantu. Motret di malam hari pakai lensa fix bukaan lebar dengan shutter speed 1/15 detik atau 1/10 detik jadi lebih pede hasilnya nggak blur karena getaran tangan.

Ada satu fitur unik yang cuma ada di Zf (sampai saat review ini dibuat) yaitu dedicated switch mode Black and White. Di bagian atas, ada tuas kecil di bawah dial shutter speed yang bisa digeser antara Color, B&W, dan B&W Flat. Kalau kamu suka motret monokrom atau pengen langsung lihat hasil hitam putih di viewfinder atau layar, ini praktis banget. Tinggal geser tuasnya, langsung masuk mode B&W dengan settingan yang bisa diatur lagi di menu (misalnya milih filter warna merah, kuning, hijau buat efek kontras khas B&W). Hasil B&W dari Nikon Zf ini juga karakternya enak dilihat, kontrasnya pas dan tonalnya rich. Mode B&W Flat juga menarik buat yang suka post-processing, karena hasilnya lebih “mentah” dengan kontras rendah, kasih ruang lebih buat diolah nanti.

Fitur canggih lain yang juga disematkan adalah Pixel Shift Shooting. Ini fitur buat dapetin resolusi super tinggi atau warna yang lebih akurat dengan menggabungkan beberapa foto. Kamera akan mengambil serangkaian foto (dari 4 sampai 32 foto) dengan sensor yang digeser sedikit antar jepretan, lalu file-nya bisa digabung pakai software Nikon NX Studio di komputer. Hasilnya bisa sampai resolusi 96 megapiksel dengan detail yang luar biasa. Tapi perlu diingat, fitur ini cuma efektif buat motret subjek atau pemandangan yang diam total, karena pergerakan sedikit aja bisa bikin artefak di gambar gabungannya. Cocok buat motret arsitektur, still life, atau landscape dari tripod yang kokoh.

Gimana soal video? Nikon Zf ini bukan cuma jagoan buat foto. Kemampuan videonya juga serius. Dia bisa rekam video 4K sampai 60fps, dan yang 4K 30fps itu di-oversample dari area 6K sensor full-frame, jadi hasilnya super tajam dan detail. Ada juga opsi rekam video H.265 (HEVC) 10-bit internal dengan profil warna N-Log atau HLG buat yang serius color grading. Sayangnya, nggak ada opsi rekam RAW video internal kayak di beberapa kamera lain, tapi buat kebanyakan orang, 10-bit N-Log/HLG internal udah lebih dari cukup buat kebutuhan profesional maupun kreatif. Ada juga port mikrofon dan headphone, serta HDMI output, bikin kamera ini makin capable buat workflow video. Layar belakangnya juga udah vari-angle, jadi bisa diputar-putar ke berbagai sudut, termasuk menghadap ke depan buat vlogging atau selfie. Ini lebih fleksibel dibanding layar tilt yang cuma bisa naik turun.

Dalam penggunaan sehari-hari, Nikon Zf ini menyenangkan banget buat dibawa kemana-mana. Ukurannya yang nggak terlalu besar (dibanding Z6 II atau Z7 II) dan bobot yang pas bikin dia nyaman buat street photography atau traveling. Ngegeser-geser dial fisik buat ganti settingan itu ngasih sensasi ‘motret’ yang beda, lebih deliberate dan nggak buru-buru kayak cuma ngutak-ngatik menu digital. Memang butuh penyesuaian kalau biasanya pakai kamera yang semua settingannya diatur lewat dial elektronik atau touchscreen, tapi sensasi klik-klik dial fisik itu bikin nagih. Kayak kembali ke esensi motret, mikirin setiap settingan sebelum jepret. Plus, tampilannya yang klasik bikin orang nggak langsung nyadar kalau ini kamera mahal dan canggih, kadang malah dikira kamera film beneran, jadi lumayan nggak terlalu mencolok perhatian pas lagi motret di tempat umum.

Tapi ada beberapa hal yang kerasa kurang nyaman. Selain isu grip yang tadi udah disebut, baterainya standar mirrorless Nikon Z, yaitu EN-EL15C. Daya tahannya nggak yang paling juara di kelasnya, jadi kalau seharian motret atau bikin video, siap-siap bawa baterai cadangan atau power bank. Sistem menunya juga khas Nikon, buat yang udah biasa sih nggak masalah, tapi buat yang baru pertama kali pakai Nikon mungkin butuh waktu adaptasi sebentar buat navigasinya. Beberapa tombol di bodi juga ukurannya agak kecil, kadang butuh penyesuaian.

Mode B&W Flat itu menarik, tapi menurut saya, nggak se-flat profil Log yang biasa dipakai buat video. Hasilnya masih punya sedikit kontras bawaan. Tapi ini preferensi personal sih. Yang jelas, opsi monokromnya itu fitur yang fun dan sering kepake kalau lagi mood motret B&W.

Fitur Pixel Shift juga menarik di atas kertas, tapi dalam praktiknya, jarang banget kepake buat motret objek yang nggak 100% diam. Jadi, kegunaannya cukup niche. Tapi ya nggak ada salahnya fitur itu ada, siapa tahu pas lagi butuh motret arsitektur atau produk di studio.

Overall, nyobain Nikon Zf ini bener-bener pengalaman yang unik. Dia bukan cuma sekadar kamera digital dengan bodi retro, tapi perpaduan serius antara performa fotografi dan videografi terbaru dengan desain dan user interface yang ngasih tribute ke era analog. Autofocus-nya yang super cepat dan akurat, kualitas gambar dari sensor full-frame yang udah teruji, IBIS yang efektif, dan kemampuan video 10-bit yang powerful, itu semua dibungkus dalam bodi yang (secara personal) sangat ganteng dan menyenangkan buat dipakai. Penggunaan dial fisik itu ngasih feel yang beda, bikin proses motret jadi lebih mindful. Memang ada beberapa kompromi di ergonomi standar mirrorless modern dan baterai, tapi itu semua rasanya ketutup sama keunikan dan performa yang ditawarkan.

Buat siapa kamera ini? Menurut saya, Nikon Zf ini cocok banget buat fotografer atau videografer yang pengen kamera full-frame dengan performa tinggi, tapi bosan sama tampilan kamera digital modern yang “itu-itu aja”. Cocok buat yang menghargai proses motret manual dengan dial fisik, suka street photography, traveling, atau sekadar pengen punya kamera yang nggak cuma powerful tapi juga bisa jadi statement personal. Kalau kamu cari kamera yang estetiknya dapet, tapi hasilnya nggak main-main, bahkan bisa diandalkan buat kerja profesional, Nikon Zf ini layak banget dipertimbangkan. Lebih dari sekadar gaya-gayaan, kamera ini bukti kalau teknologi paling baru bisa hidup berdampingan dengan sentuhan klasik yang abadi.

Share this content: