Oke, mari kita ngobrolin salah satu kamera yang jadi incaran banyak orang, terutama yang lagi nyari ‘pusat’ ekosistem Sony Alpha mereka: Sony α7 IV. Kamera ini sebenernya udah agak lama di pasaran, tapi sampai sekarang masih relevan banget dan sering disebut sebagai “kuda kerja” alias workhorse-nya para kreator konten, fotografer, sampai videografer. Ini Rasanya Pake Google Pixel 8 Pro Kameranya Bisa Bikin Kamu Melongo Otak AI Google Beda
Waktu pertama kali pegang α7 IV, rasanya langsung familiar buat yang udah pernah pake seri Alpha sebelumnya. Desainnya khas Sony, minimalis tapi fungsional. Grip-nya terasa lebih dalam dibanding α7 III, jadi lebih nyaman digenggam, apalagi kalau pake lensa yang lumayan berat. Build quality-nya juga terasa kokoh, solid, dan punya weather sealing yang lumayan buat ngadepin kondisi nggak ideal di lapangan.
Layout tombolnya pun ada beberapa perubahan yang signifikan. Dial kompensasi exposure di atas sekarang nggak punya marking angka, malah bisa di-customize fungsinya. Terus ada dial khusus buat pindah mode dari Foto, Video, ke S&Q (Slow & Quick) di bawah mode dial utama. Ini beneran kepake banget buat yang sering switching antara foto dan video. Jendela bidik atau EVF-nya juga terasa lebih baik resolusinya dibanding pendahulunya, meskipun bukan yang paling tajam di kelasnya. Nah, yang paling ditunggu-tunggu, layar belakangnya sekarang udah pakai model vari-angle! Ini esensial banget buat vlogging, motret dari sudut rendah/tinggi, atau bahkan cuma sekadar selfie atau bikin konten di depan kamera. Layarnya juga udah touch screen yang responsif, dan yang penting, menu-nya udah di-upgrade ke sistem menu terbaru Sony yang lebih logis dan mudah dinavigasi (dibanding menu Sony yang lama yang bikin pusing itu!).
Pindah ke jeroannya, ini dia yang bikin α7 IV menarik. Sensornya pakai resolusi baru, 33 Megapixel full-frame. Ini peningkatan yang lumayan signifikan dari 24MP di α7 III. Hasilnya? Detail gambar jadi lebih kaya, lebih punya ruang buat cropping kalau misalnya kita butuh nyesuaiin komposisi setelah motret. Buat yang kerja komersial atau butuh file gede, 33MP ini pas banget. Nggak terlalu berat kayak file 50MP ke atas, tapi udah lebih dari cukup buat banyak kebutuhan cetak atau digital.
Processor-nya juga udah pakai BIONZ XR, processor yang sama yang ada di seri-seri Alpha high-end kayak α1 atau α7S III. Ini ngaruh banget ke performa keseluruhan. Mulai dari kecepatan start-up, navigasi menu, sampe yang paling kerasa: performa autofocus dan buffer shooting. Sistem autofocus-nya itu lho, beneran pinter. Pakai Real-time Tracking dan Real-time Eye AF yang udah canggih, bisa ngunci mata manusia, hewan, bahkan sekarang *burung* dengan akurat banget. Buat motret subjek bergerak kayak anak-anak lari, binatang peliharaan, atau bahkan olahraga non-profesional, AF-nya bisa diandelin banget.
Speed continuous shooting-nya masih di angka 10 frame per detik (fps) dengan AF/AE tracking. Angka ini standar bagus buat banyak kebutuhan. Tapi yang bikin beda adalah buffer-nya. Berkat processor BIONZ XR dan slot dual card (salah satunya support CFexpress Type A yang super cepat), α7 IV bisa nampung tembakan burst jauh lebih lama sebelum melambat, apalagi kalau pake kartu CFexpress Type A. Ini krusial buat momen-momen penting yang nggak boleh kelewat.
Sekarang bahas soal kualitas gambar dan video, yang mana ini jadi poin kuat α7 IV. File RAW 33MP-nya punya dynamic range yang luas, kasih ruang buat ngedit highlight dan shadow di post-processing. Warna khas Sony juga udah makin mateng, meskipun selera warna ini personal banget sih ya. Noise management di ISO tinggi juga tergolong bagus buat sensor 33MP, masih bisa kepake di kondisi low light tanpa terlalu banyak drama.
Nah, buat yang serius di video, α7 IV ini peningkatan yang lumayan drastis dari pendahulunya. Dia bisa rekam 4K sampai 60p. Tapi ada ‘tapinya’ nih: kalau rekam di 4K 60p, ada crop 1.5x alias jadi mode Super 35/APSC. Kalau mau 4K full-frame, bisanya sampai 30p, tapi ini udah di-oversample dari resolusi yang lebih tinggi (sekitar 7K kalo nggak salah), jadi kualitasnya tajam banget. Pilihan rekamannya juga udah komplit, support 10-bit 4:2:2 internal recording. Ini artinya file video kita punya kedalaman warna yang lebih kaya, jadi lebih fleksibel dan kuat waktu di-color grading. Ada juga profil gambar kayak S-Log3 buat dynamic range maksimal atau S-Cinetone buat look sinematik yang udah siap pakai tanpa banyak grading. Fitur focus breathing compensation juga ada, buat ngurangin efek lensa yang “bernapas” waktu fokus berpindah, meskipun nggak semua lensa support.
Fitur-fitur lain yang nambah nilai jual: ada built-in stabilization (IBIS) 5-axis yang lumayan membantu waktu handheld, meskipun performanya akan maksimal kalau dikombinasikan sama stabilization optik di lensa atau di post-pro. Ada port HDMI full-size (YES!) yang lebih kokoh dibanding micro-HDMI. Terus, dia juga bisa langsung dijadiin webcam berkualitas tinggi cuma colok kabel USB-C aja, nggak perlu capture card. Ini berguna banget buat live streaming atau video conference dengan kualitas gambar terbaik.
Pengalaman pakai α7 IV secara harian terasa nyaman. Baterainya pakai seri NP-FZ100 yang udah terbukti awet. Menu barunya ngebantu banget nyari settingan yang kita butuhin. Respons kamera secara umum juga cepet, nggak ada lag yang berarti waktu pindah mode atau review foto/video.
Tapi tentu ada beberapa kekurangan yang perlu diperhatikan. Tadi udah disebut soal crop di 4K 60p. Selain itu, rolling shutter-nya di mode video lumayan kelihatan kalau panning terlalu cepat, terutama di mode full-frame 4K 30p. Ini wajar sih buat kamera di kelas ini, tapi tetap perlu diwaspadai kalau subjek atau gerakan kameranya cepet banget.
Harga rilisnya juga lumayan lebih tinggi dibanding α7 III waktu pertama keluar. Jadi buat yang budgetnya terbatas, ini bisa jadi pertimbangan. EVF-nya juga, meskipun lebih baik, belum setajam beberapa kompetitor lain di range harga yang sama atau sedikit di atasnya.
Jadi, buat siapa sih kamera ini? Sony α7 IV ini posisinya pas banget di tengah-tengah. Bukan kamera dengan resolusi paling tinggi (bukan A7R series), bukan kamera paling cepat (bukan A9/A1 series), dan bukan kamera video murni (bukan A7S series). Tapi dia adalah kamera yang *sangat bagus* di *semua* area itu. Dia excellent buat foto dengan resolusi 33MP dan AF yang top. Dia juga excellent buat video dengan fitur 10-bit 4:2:2, S-Log/S-Cinetone, dan 4K oversampled. Lebih dari sekadar spek inilah Vivo V29e yang bakal bikin kamu kepincut
Buat yang nyari kamera full-frame pertama dengan budget yang ‘masuk akal’ (untuk level prosumer/profesional), atau yang mau upgrade dari kamera APSC, atau bahkan upgrade dari α7 III yang butuh performa video lebih serius dan AF yang lebih canggih, α7 IV ini pilihan yang logis dan kuat banget. Dia beneran all-rounder yang bisa diandalkan untuk berbagai macam pekerjaan, mulai dari motret wedding, portrait, landscape, sampe bikin konten YouTube, cinematic video pendek, atau bahkan liputan acara.
Secara keseluruhan, Sony α7 IV ini adalah evolusi yang signifikan dari pendahulunya. Peningkatan di sensor, processor, AF, fitur video, dan usability (menu baru, layar vari-angle) bikin kamera ini jadi salah satu mirrorless full-frame paling kapabel di kelasnya saat diluncurkan. Dia nggak sempurna, tapi kelebihan dan fleksibilitasnya jauh menutupi kekurangannya buat mayoritas pengguna. Kalau kamu butuh kamera yang bisa ‘segala’, buat foto oke banget dan buat video juga serius, α7 IV ini layak banget masuk daftar paling atas buat dipertimbangkan.
Share this content: